Saturday, June 18, 2011

REVALUASI ASET TETAP: SUATU TINJAUAN DARI ASPEK AKUNTANSI DAN ASPEK PERATURAN PERPAJAKAN

REVALUASI ASET TETAP: SUATU TINJAUAN DARI ASPEK AKUNTANSI DAN ASPEK PERATURAN PERPAJAKAN
Ditulis oleh Tarko Sunaryo
Tuesday, 26 August 2008

http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/arsip/revaluasi-aset-tetap.html

Pada tahun 2007 Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) Ikatan Akuntan Indonesia mengesahkan tiga Exposure Draft menjadi PSAK yaitu PSAK No 13 (revisi 2007) Properti Investasi, PSAK No. 16 (revisi 2007) Aset Tetap dan PSAK No. 30 (revisi 2007) Sewa. Ketiga PSAK tersebut berlaku efektif untuk penyusunan laporan keuangan untuk periode yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2008. Ketiga PSAK tersebut terutama membahas mengenai standar perlakuan akuntansi untuk aset tetap. Pengesahan ketiga PSAK tersebut dilakukan sebagai bagian dari proses konvergensi PSAK terhadap International Financial Reporting Standard (IFRS). Oleh karena itu materi PSAK baru tersebut diambil seluruhnya dari IFRS dengan beberapa penyesuaian karena ada beberapa nomor IFRS yang belum diadopsi di dalam PSAK.

Dengan berlaku secara efektif ketiga PSAK tersebut maka PSAK lama yaitu PSAK No. 13 (1994) Akuntansi untuk Investasi, PSAK No. 16 (1994) Aktiva Tetap dan Aktiva lain-lain, PSAK No. 17 (1994) Akuntansi Penyusutan dan PSAK No. 30 (1990) Akuntansi Sewa Guna Usaha menjadi tidak berlaku untuk penyusunan laporan keuangan sebuah entitas. Kemudian pada tanggal 23 Mei 2008 Menteri Keuangan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 79/PMK.03/2008 (PMK 79/2008) tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan. PMK 79/2008 ini menggantikan peraturan sejenis yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2002.

Tulisan ini akan membahas mengenai revaluasi aset tetap terkait dengan adanya standar akuntansi baru tersebut dan bagaimana hubungannya dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

Revaluasi Aset Tetap Menurut Standar Akuntansi

Salah satu perbedaan pokok antara PSAK No. 16 (2007) tersebut dibandingkan dengan PSAK No. 16 (1994) adalah dalam hal pengukuran setelah pengakuan awal. Pada PSAK No.16 (2007) disebutkan bahwa suatu entitas harus memilih model biaya (cost model) atau model revaluasi sebagai kebijakan akuntansi suatu entitas dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama. Apabila entitas menggunakan model biaya maka setelah diakui sebagai aset, suatu aset tetap dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Model biaya ini sama perlakuannya dengan standar akuntansi yang sudah ada sebelumnya.


Sedangkan pada model revaluasian, setelah diakui sebagai suatu aset, suatu aset tetap yang nilai wajarnya dapat diukur secara andal harus dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar pada tanggal revaluasi, dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai yang terjadi setelah tanggal revaluasi. Revaluasi harus dilakukan dengan keteraturan yang cukup regular untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dari jumlah yang ditentukan dengan menggunakan nilai wajar pada tanggal neraca.

Sedangkan dalam PSAK No.16 (1994) suatu entitas hanya diperkenankan menggunakan model biaya dan tidak diperkenankan menggunakan model revaluasian. Karena itu tidak ada uraian lebih lanjut mengenai revaluasi aset tetap. Namun demikian dalam PSAK 1994 terdapat pengecualian yaitu suatu entitas diperkenankan melakuan revaluasi atas aktiva tetap sepanjang revaluasi tersebut dilakukan dengan mengikuti peraturan pemerintah. Dalam hal ini peraturan pemerintah yang relevan adalah peraturan dibidang perpajakan. Kewajiban tersebut diantaranya adalah pengenaan pajak penghasilan final atas kenaikan aktiva tetap sebagai hasil revaluasi dan pencatatan atas hasil revaluasi yang dilakukan. Pengecualian ini dilakukan untuk mengakomodasi mekanisme pencatatan apabila suatu entitas melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan. Keputusan Menteri Keuangan No.486/KMK/.03/2002 mewajibkan bahwa atas kenaikan hasil revaluasi aset tetap dicatat dalam akun selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan. Oleh karena itu salah satu pertimbangan penting dalam melakukan revaluasi aset tetap berdasarkan PSAK 16 (1994) adalah bagaimana dampak perpajakannya.

Dengan mengadopsi model revaluasian sesuai PSAK 16 (2007) maka revaluasi aset tetap dalam rangka penyajian laporan keuangan tidak lagi harus mengikuti ketentuan perpajakan. Suatu entitas yang memilih model revaluasian mempunyai pilihan untuk melaporkan atau tidak atas hasil revaluasi untuk tujuan perpajakan. Apabila entitas bermaksud tidak melaporkan hasil revaluasian tersebut untuk tujuan perpajakan maka akan terjadi beda temporer antara laporan keuangan dengan laporan fiskalnya sehingga pengaruh pajak tangguhan atas revaluasi tersebut perlu dihitung.

Beberapa paragraf dalam PSAK 16 (2007) menjelaskan mengenai nilai wajar aset tetap pada saat revaluasian. Nilai wajar tanah dan bangunan biasanya ditentukan melalui penilaian yang dilakukan oleh penilai yang memiliki kualifikasi professional berdasarkan bukti pasar. Jika tidak ada nilai wajar karena sifat dari aset tetap yang khusus dan jarang diperjual-belikan, kecuali sebagai bagian dari bisnis yang berkelanjutan, entitas dapat menggunakan pendekatan penghasilan atau biaya pengganti yang telah disusutkan. Belum ada pedoman yang lebih lanjut mengenai bagaimana suatu entitas atau profesi penilai dalam menentukan nilai wajar. Bahkan dalam kasus penentuan nilai wajar pabrik dan peralatan PSAK cenderung menyerahkan kepada profesi penilai. Sehingga dikhawatirkan akan mengurangi reliabilitas laporan keuangan.

PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa frekuensi revaluasi tergantung kepada perubahan nilai wajar dari suatu aset tetap yang direvaluasi. Jika terjadi perbedaan nilai wajar secara material dari jumlah yang tercatat maka revaluasi selanjutnya perlu dilakukan. Beberapa aset tetap yang mengalami perubahan nilai wajar signifikan dan fluktuatif perlu dilakukan revaluasi setiap tahun. Sedangkan untuk perubahan nilai wajar yang tidak signifikan tidak perlu dilakukan revaluasi setiap tahun. Namun demikian, aset tersebut mungkin perlu direvaluasi setiap tiga atau lima tahun sekali.

Pengelompokan aset tetap merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan oleh entitas pada saat melakukan revaluasi aset tetap. PSAK 16 (2007) menyebutkan bahwa jika suatu aset tetap direvaluasi, maka seluruh aset tetap dalam kelompok yang sama harus direvaluasi.
Definisi suatu kelompok aset tetap menurut PSAK 16 (2007) adalah pengelompokan aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Contoh dari kelompok aset yang terpisah adalah: tanah, tanah dan bangunan, mesin, kapal, pesawat udara, kendaraan bermotor, perabotan, dan peralatan kantor. Oleh karena itu system informasi akuntansi suatu entitas perlu didisain sedemikian rupa sehingga mampu membuat kelompok-kelompok aset tetap sesuai dengan PSAK ini.

Aset-aset dalam suatu kelompok aset tetap harus direvaluasi secara bersamaan bertujuan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif dan bercampurnya biaya perolehan dan nilai lainya pada saat yang berbeda-beda. Namun, suatu kelompok aset dapat direvaluasi secara bergantian (rolling basis) sepanjang revaluasi dari kelompok aset tersebut dapat diselesaikan secara lengkap dalam waktu yang singkat dan sepanjang revaluasi dimutakhirkan.

Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset meningkat maka kenaikan tersebut langsung dikreditkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi. Namun apabila sebelumnya pernah diakui penurunan nilai aset akibat revaluasi dalam laporan laba rugi, maka terhadap kenaikan aset tersebut harus diakui terlebih dahulu dalam laporan laba rugi sebesar nilai penurunan yang diakui sebelumnya. Sisa nilai setelah sebagian diakui dalam laporan laba rugi tersebut dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas. Pengaruh pajak tangguhan perlu dihitung dan disesuaikan dengan bagian yang diakui dalam laporan laba rugi tersebut.

Pada saat dilakukan revaluasi, apabila jumlah tercatat aset turun maka penurunan tersebut diakui dalam laporan laba rugi. Namun apabila sebelumnya terhadap aset tersebut penah dilakukan revaluasi dan dicatat sebagai kenaikan yang langsung dikreditkan ke ekuitas maka terhadap penurunan nilai akibat revaluasi tersebut langsung didebitkan ke ekuitas pada bagian surplus revaluasi dengan catatan jumlah maksimal yang dapat didebet adalah sebesar saldo surplus revaluasi. Sisa nilai penurunan dibebankan ke laporan laba rugi.

Dampak atas pajak penghasilan, jika ada, terhadap kenaikan atau penurunan nilai aset akibat hasil revaluasi harus diperhitungkan dan dicatat sesuai dengan pencatat kenaikan atau penurunan revaluasi. Pajak tangguhan diperhitungkan dan dibebankan ke ekuitas atau laporan laba rugi mengikuti mekanisme pengakuan hasil revaluasi.

Pada saat aset tetap direvaluasi, akumulasi penyusutan pada tanggal revaluasi dapat diperlakukan dengan salah satu cara yaitu:
1. disajikan kembali secara proporsional sehingga dengan perubahan dalam jumlah tercatat bruto dari aset sehingga jumlah tercatat aset setelah revaluasi sama dengan jumlah revaluasian. Metode ini sering digunakan apabila aset direvaluasi dengan cara memberikan indeks untuk menentukan biaya pengganti yang telah disusutkan.

2. dieliminasi terhadap jumlah tercatat bruto dari aset dan jumlah tercatat neto setelah dieliminasi disajikan kembali sebesar jumlah revaluasian dari aset tersebut. Metode ini sering digunakan untuk bangunan.

Jumlah penyesuaian yang timbul dari penyajian kembali atau eliminasi akumulasi penyusutan tersebut membentuk bagian kenaikan atau penurunan nilai aset seperti yang dijelaskan dalam mekanisme pencatatan hasil revaluasi di ekuitas seperti yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya.

Pemindahan surplus revaluasi aset tetap ke laba ditahan yang telah disajikan dalam ekuitas dapat dilakukan pada saat aset tetap tersebut dihentikan penggunaannya atau pada saat pelepasan. Namun, sebagian surplus revaluasi dipindahkan ke saldo laba sejalan dengan penggunaan aset oleh entitas. Pemidahan tersebut dilakukan sebesar selisih jumlah penyusutan antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai revaluasian dengan jumlah penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Namun pemindahan surplus revaluasi tersebut dilakukan langsung ke saldo laba, tidak melalui laporan laba rugi.

Periode transisi

PSAK 16 (2007) mengatur periode transisi pada saat tahun pertama penerapannya. Suatu entitas yang sebelum penerapan PSAK 16 (2007) telah melakukan revaluasi aset tetap dan kemudian memilih menggunakan model biaya sebagai kebijakan akuntansi pengukuran aset tetap maka nilai revaluasi aset tetap tersebut dianggap sebagai biaya perolehan (deem cost). PSAK ini juga mengatur bahwa nilai revaluasi yang diperkenankan sebagai deem cost adalah nilai revaluasi pada saat PSAK ini diterbitkan atau nilai revaluasi sebelum tanggal 29 Mei 2007. Dengan kata lain bahwa revaluasi aset tetap setelah tanggal PSAK ini terbit sampai dengan tanggal 1 Januari 2008 atau tanggal penerapan pertama kali pernyataan ini tidak boleh diakui sebagai deem cost.


Demikian juga entitas yang mempunyai saldo selisih revaluasi aset tetap pada saat PSAK ini belum diterapkan maka pada saat penerapan pertama kali PSAK ini harus mereklasifikasi seluruh saldo selisih nilai revaluasi aset tetap tersebut ke saldo laba.

Dalam kaitannya dengan PSAK 30 (2007), aset yang diperoleh melalui sewa pembiayaan tidak diatur secara jelas apakah disertakan dalam revaluasi aset tetap jika suatu kelompok aset dilakukan revaluasi. Namun demikian jika mengacu kepada difinisi dari aset tetap sesuai PSAK 16 (2007) bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk digunakan dalam proses produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk disewakan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administrasi dan diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Selain difinisi tersebut, PSAK 16 (2007) juga mendifinisikan kelompok aset tetap yang harus direvaluasi seluruhnya secara bersamaan adalah merupakan kelompok aset yang memiliki sifat dan kegunaan yang serupa dalam operasi normal entitas. Karena itu aset tetap dari leasing menurut penulis termasuk kategori sebagai aset tetap.

PSAK 13 (2007) mengenai properti investasi mengatur revaluasi aset tetap dalam hal dilakukannya pngukuran setelah perolehan awal aset tetap. Properti investasi yang dicatat dengan menggunakan model revaluasian maka terhadap biaya penyusutannya tidak dihitung. Kenaikan atau penurunan atas nilai properti investasi dibebankan ke laporan laba rugi.

Revaluasi Menurut Peraturan Perpajakan

Peraturan perpajakan yang terkait dengan dengan revaluasi aset tetap adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan untuk Tujuan Perpajakan yang berlaku pada tanggal ditetapkan 23 Mei 2008. PMK 79 ini menggantikan KMK 486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002. Perbedaan pokok antara peraturan baru dengan peraturan lama dijelaskan dalam paragraf berikut ini.

1. Cakupan aktiva yang dapat dilakukan penilaian kembali.
Dua alternatif diatur dalam PMK 79 ketiak perusahaan melakukan penilaian aktiva tetap yaitu: (a) dilakukan terhadap seluruh aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan, atau (b) terhadap seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.

Sedangkan dalam KMK 486, penilaian kembali aktiva tetap dapat meliputi seluruh atau sebagian aktiva tetap perusahaan termasuk aktiva tetap perusahaan yang sudah pernah dilakukan penilaian kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Dengan demikian PMK 79 hanya memberikan alternatif penilaian dengan atau tanpa tanah. Sedangkan dalam KMK 486 perusahaan bebas untuk memilih aktiva tetap mana yang akan dilakukan penilaian kembali.

2. Jangka waktu penilaian
PMK 79 mengatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan kembali setelah melewati jangka waktu 5 tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini. Oleh karena itu jika pada tanggal 31 Desember 2008 perusahaan melakukan revaluasi aktiva tetap untuk tujuan perpajakan maka revaluasi tersebut dapat dilakukan kembali setelah tanggal 31 Desember 2013.
Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa penilaian kembali aktiva tetap dapat dilakukan paling banyak 1 (satu) kali dalam tahun buku yang sama.

3. Dasar pengenaan pajak penghasilan final
Terhadap kenaikan hasil dari penilaian kembali aktiva tetap dikenakan pajak penghasilan final 10%. Dalam PMK 79 diatur bahwa pengenaan PPh final 10% dihitung dari selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap diatas nilai buku fiscal semula. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa pengenaan Ph final 10% dilakukan setelah dikurangi dengan kompensasi sisa kerugian fiscal dari tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dipergunakan.

Dengan demikian, jika perusahaan masih mempunyai sisa kerugian fiscal dari tahun sebelumnya maka tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai pengurang hasil revaluasi aset tetap.

4. Pembayaran PPh final secara angsuran
Terhadap PPh final yang terhutang, PMK 79 hanya memberikan waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam hal terjadi perusahaan yang mengalami kesulitan kondisi keuangan sehingga tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus. Sedangkan dalam KMK 486 diatur bahwa besarnya angsuran atas PPh final tersebut dapat dilakukan secara bertahap sampai dengan maksimal 2 (dua) tahun untuk nilai PPh lebih dari Rp 2 triliun sampai dengan Rp 4 triliun, diatas Rp 4 triliun sampai dengan Rp 6 triliun selama 3 (tiga) tahun, untuk nilai diatas Rp 6 triliun sampai dengan Rp 8 triliun selama 4 (empat) tahun dan diatas Rp 8 triliun maksimal selama 5 (lima) tahun.

5. Pengenaan tambahan pajak penghasilan final atas pengalihan aktiva tetap yang direvaluasi
PMK 79 mengatur bahwa apabila sebelum selesainya masa manfaat yang baru sebagai hasil revaluasian, perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah mendapatkan persetujuan penilaian kembali maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula dikenakan tambahan pajak penghasilan final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%.

Demikian juga apabila perusahaan mengalihkan aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10(sepuluh) tahun maka atas selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula, dikenakan tambahan PPh final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi dengan 10%.

Sedangkan dalam KMK 486 disebutkan bahwa dalam hal wajib pajak melakukan pengalihan aktiva tetap yang telah mendapatkan persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan PPh final sebesar 20% dari selisih lebih penilaian kembali diatas nilai sisa buku fiscal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiscal tahun-tahun sebelumnya.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, baik PMK 79 maupun KMK 486 mengharuskan perusahaan untuk mencatat selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap perusahaan diatas nilai sisa buku komersial semula setelah dikurangi dengan pajak penghasilannya pada neraca komersial pada perkiraan modal dengan nama “Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap perusahaan tanggal……………….”

Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan semakin diperketat dan cenderung menjadi kurang menarik. Penilaian kembali aktiva tanah menjadi tidak menarik karena tidak dapat dikurangkan lagi dengan sisa rugi fiscal dan tidak ada manfaat tax saving dari penyusutan. Sehingga perusahaan akan cenderung tidak melakukan penilaian aktiva tanah sampai dengan terjadi realisasi pelepasan tanah.

Sedangkan aktiva tetap lainnya, manfaat yang ada adalah berupa tax saving berupa peningkatan besaran total biaya penyusutan seiring dengan adanya kenaikan nilai aktiva tetap. Namun demikian kenaikan tersebut juga diiringi dengan bertambahnya umur manfaat secara fiscal aktiva tetap tersebut. Sehingga besar kemungkinan pada saat dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap akan terjadi penurunan biaya penyusutan setiap tahunnya, jika dibandingkan dengan apabila tidak dilakukan penilaian kembali aktiva tetap. Selain itu dengan adanya kewajiban untuk melakukan penilaian kembali terhadap seluruh aktiva tetap (kecuali tanah) dan jarak antara dua penilaian kembali harus selama 5 tahun, maka perusahaan tidak bisa membuat kombinasi aktiva tetap sehingga menghasilkan pilihan yang optimal pada saat dilakukan penilaian kembali. Oleh karena itu penilaian kembali aktiva tetap akan menarik bagi perusahaan yang sedang mengalami penurunan omset atau mempunyai aktiva tetap yang sebagian besar sudah mendekati habis umur fiskalnya namun aktiva tersebut masih mampu berproduksi secara baik dan jangka panjang mempunyai prospek bisnis yang lebih baik. Dalam hal ini perlu dilakukan perencanaan yang tepat kapan dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan.

Model Biaya dan Model Revaluasi Untuk Properti Investasi Tidak Dapat Melakukan Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan?

Uraian berikut ini merupakan penjelasan mengenai keterkaitan antara peraturan perpajakan dengan standar akuntansi.

Mengacu kepada penjelasan mengenai standar akuntansi dan peraturan perpajakan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan mengenai revaluasi aset tetap antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan. Perbedaan tersebut diantaranya adalah periode kapan dapat dilakukan revaluasi, cakupan aset yang dapat dilakukan revaluasi dan bagaimana mencatat perubahan nilai atas hasil revaluasi.
PSAK 16 (2007) tidak membatasi kapan dilakukannya revaluasi aset tetap. Revaluasi dapat dilakukan setiap periode tertentu untuk kelompok aset tertentu. PSAK ini juga mengijinkan revaluasi dilakukan secara bergantian antara kelompok aset tetap yang berbeda. Sedangkan dalam PMK 79 tahun 2008 penilaian kembali aktiva tetap hanya dapat dilakukan setelah melewati jangka waktu lima tahun sejak penilaian terakhir menurut PMK tersebut. Demikian pula ketika dilakukan penilaian aktiva tetap harus dilakukan untuk seluruh aktiva tetap dengan atau tanpa tanah, dan tidak dapat lagi dilakukan secara parsial. Untuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease (PSAK No.30 2007), ketika dalam kelompok aset tersebut dilakukan revaluasi menurut PSAK 16 2007 maka seluruh aset tetap dalam kelompok tersebut seluruhnya termasuk aset tetap yang diperoleh melalui finance lease tersebut juga direvaluasi. Hal ini berbeda dengan peraturan perpajakan dimana revaluasi hanya untuk aktiva tetap selain aktiva tetap leasing, karena aktiva tetap leasing perlakuan perpajakan diatur berbeda. Dalam hal pencatatan, PSAK 16 (2007) mengharuskan perusahaan untuk memilih model biaya atau model revaluasian sebagai kebijakan akuntansinya. Sedangkan dalam PMK 79 diatur mengenai kenaikan atas hasil penilaian kembali aktiva tetap sebagai bagian dari ekuitas. Dalam perspektif standar akuntansi maka model pencatatan dalam PMK 79 tahun 2008 adalah model revaluasian. Sedangkan untuk model biaya PMK 79 tahun 2008 tidak mengaturnya.

Oleh karena itu dengan terbitnya PSAK 16 (2007) maka terdapat dua tujuan yang berbeda dalam hal revaluasi aset tetap, yaitu untuk tujuan pelaporan keuangan atau untuk tujuan perpajakan. Hal ini berbeda dengan PSAK 16 (1994) dimana tidak ada perbedaan tujuan antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan karena PSAK 16 (1994) yang sebenarnya melarang revaluasi, namun memberikan ruang bagi revaluasi aset tetap yang dilakukan menurut ketentuan perpajakan. Karena itu setiap kali melakukan revaluasi untuk tujuan laporan keuangan maka harus sesuai dengan ketentuan perpajakan. Demikian juga sebaliknya, revaluasi untuk tujuan perpajakan juga akan tercatat dalam laporan keuangan perusahaan.

Bagi perusahaan yang memilih model revaluasian untuk kebijakan akuntansi setelah perolehan awal maka dalam laporan keuangan aset tetap akan disajikan sebesar nilai wajar. Namun demikian dalam mekanisme perpajakan revaluasi atas aset tetap tersebut tidak harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk tujuan perpajakan.
Apalagi terdapat ketentuan dalam PMK 79 bahwa revaluasi untuk perpajakan hanya dapat dilakukan setelah lewat lima tahun, maka setiap revaluasi aset tetap yang dilakukan dalam periode tertentu yang disajikan dalam laporan keuangan tidak bisa diajukan permohonan kepada Dirjen Pajak. Selain itu perbedaan dalam hal aset mana saja yang direvaluasi antara standar akuntansi dengan ketentuan pajak juga menimbulkan kebutuhan akan revaluasi yang berbeda. Oleh karena itu mekanisme koreksi fiscal dan pengakuan pajak tangguhan atas beda temporer yang muncul akan menjembatani perbedaan tersebut.

Demikian pula mengenai revaluasi atas properti investasi maka akan terdapat perbedaan antara standar akuntansi dengan peraturan perpajakan.. Dalam PMK 79 tahun 2008, tidak mengatur secara spesifik mengenai properti investasi. Selain PMK tersebut, penulis belum menemukan peraturan lain yang mengatur mengenai revaluasi aktiva tetap (properti investasi) untuk tujuan perpajakan. Sehingga PMK 79 tahun 2008 menjadi satu-satunya peraturan mengenai revaluasi aset. Karena itu apabila properti investasi akan dilakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan maka peraturan yang relevan adalah PMK 79 tahun 2008 ini. Namun demikian terdapat permasalahan sehingga besar kemungkinan revaluasi properti investasi untuk tujuan perpajakan tidak dapat dilakukan. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pencatatan hasil kenaikan penilaian kembali aktiva tetap. Menurut PMK 79 tahun 2008 hasil penilaian kembali akan dicatat dalam neraca sebagai selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap dan mengharuskan dilakukan penyusutan atas aktiva tetap tersebut. Hal ini berbeda dengan PSAK 13 (2007), revaluasi atas properti investasi merupakan pilihan model sebagai kebijakan akuntansi yang diterapkan perusahaan secara konsisten. Dalam hal terjadi revaluasi maka atas hasil revaluasi tersebut dicatat sebagai keuntungan atau kerugian dalam laporan laba rugi sehingga perlu dilakukan secara tahunan. Selain itu dengan model revaluasi, maka terhadap properti investasi tersebut tidak dilakukan penyusutan. Perbedaan disusutkan atau tidaknya properti investasi dapat direkonsiliasi sebagi koreksi fiscal, namun demikian perbedaan dalam mekanisme mencatat kenaikan revaluasi merupakan perbedaan yang belum ada solusinya.

Demikian pula bagi perusahaan yang memilih model biaya sebagai kebijakan akuntansi untuk pengukuran setelah tanggal perolehan aset tetap dan properti investasi akan menghadapi kendala apabila bermaksud melakukan revaluasi aset tetap untuk tujuan perpajakan.
Perusahaan tersebut tidak dapat memenuhi ketentuan sesuai dengan PMK 79 tahun 2008 karena neraca dalam laporan keuangan tidak akan pernah tercatat selisih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap sebagai komponen dalam ekuitas. Karena itu besar kemungkinan jika melakukan revaluasi akan ditolak permohonannya oleh Dirjen Pajak. Alternatif dengan mengubah kebijakan pengukuran dengan model revaluasian bukan merupakan langkah yang tepat.
Meskipun PSAK ini memperbolehkan untuk mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasian namun hal ini bukan merupakan alternatif yang bijak. Karena pilihan kebijakan akuntansi adalah pilihan profesional yang sesuai dengan kondisi bisnis suatu entitas untuk mengukur, mencatat dan melaporkan kondisi keuangannya. Beberapa perusahaan seperti industri manufaktur lebih cocok memilih model biaya karena terkait dengan penilaian persediaan.

Pasal 9 PMK 79 Tahun 2008 Perlu Direvisi?

Revisi pasal 9 PMK 79 tahun 2008 merupakan salah satu penyelesaian yang bijaksana agar perusahaan yang memilih model biaya atau yang mencatat properti investasi dengan menggunakan model revaluasian dapat melakukan penilaian kembali untuk tujuan perpajakan.
Pasal 9 PMK 79 tahun 2008 mengatur mengenai bagaimana sebuah perusahaan mencatat dalam neraca komersial selisih lebih kenaikan atas penilaian kembali aktiva tetap. Pengaturan mekanisme pencatatan tersebut yang menghambat perusahaan manufaktur yang menggunakan model biaya untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan. Demikian pula dengan perusahaan perhotelan misalnya, yang menggunakan model revaluasian untuk mencatat properti investasinya akan mengalami kendala dalam hal yang sama. Bagaimana mencatat suatu transaksi dalam laporan keuangan akan lebih tepat bila diserahkan sepenuhnya dengan mengikuti standar akuntansi yang berlaku umum. Ini adalah domainnya akuntansi. Standar akuntansi telah disusun melalui proses yang cermat, mempertimbangkan berbagai macam aspek dan frame work yang jelas serta melibatkan semua stakeholdernya.

Model revaluasian dan model biaya dalam standar akuntansi keuangan (PSAK 16 2007 dan PSAK 13 2007) telah menyediakan standar yang jelas mengenai bagaimana mengukur, mencatat dan melaporkan revaluasi aset tetap. Termasuk model biaya, meskipun dalam neraca tidak mencatat mengenai harga aset tetap setelah revaluasian, namun dalam model tersebut terdapat mekanisme bagaimana melaporkan nilai wajar suatu aset tetap. Karena itu, jika seandainya Pasal 9 PMK 79 tahun 2008 dihapuskan pun maka masih ada standar akuntansi yang pasti akan menjadi rujukan pada saat menyusun laporan keuangan. Jikalaupun direvisi, maka salah satu alternatif yang bijaksana adalah bagaimana membukukan selisih hasil revaluasi aset tetap dicatat dan dilaporkan harus sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.
Hal ini berbeda ketika suatu entitas masih mengacu kepada PSAK 16 (1994) karena dalam PSAK tersebut tidak memperkenankan model revaluasian kecuali mengikuti peraturan pemerintah yang berlaku. Jika tidak diharuskan sesuai dengan Pasal 9 KMK 486/KMK.03/2002 maka atas hasil revaluasi tidak akan dilaporkan dalam laporan keuangan.

Friday, June 10, 2011

Dua Proyek PU Jadi Model Pengembangan KPS


Dua Proyek PU Jadi Model Pengembangan KPS
04 Apr 2011


JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum (PU) akan menjadikan dua proyek infrastruktur di kementerian itu sebagai model pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) ke depan. Dua proyek itu adalah proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) milik PT Aetra Tangerang dan tol Cikampek-Palimanan.

Menteri PU Djoko Kirmanto mengatakan, dua proyek itu memiliki kemajuan yang baik. Dengan begitu, penyelesaian proyek-proyek itu akan memacu terselesaikannya proyek-proyek lain di bidang yang sama. Dengan menetapkan model tersebut, diharapkan pembangunan infrastruktur bisa dipercepat

"Proyek Aetra bisa menjadi contoh bagi proyek air bersih lainnya dengan format KPS. Model-model percepatan pembangunan infrastruktur dengan tingkat keberhasilan semacam Aetra, juga akan diterapkan pada bentuk atau bidang pembangunan infrastruktur lainnya. Untuk tol, Cikampek-Palimanan bisa jadi contoh untuk ruas tollainnya," kata dia, seperti dikutip Antara di Jakarta, pekan lalu.

Dengan menjadi model bagi pengembangan KPS, kata Djoko Kirmanto, proyek bersangkutan bisa mendapatkan dukungan dari pemerintah. Sesuai Peraturan Presiden No 13/2010 tentang Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur menyedian sejumlah dukungan dan insentif kepada swasta.

Khusus untuk proyek KPS air minum, Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Kementerian PU Rachmat Karnadi mengatakan, setidaknya ada dua macam dukungan, jika investor swasta berminat dalam proyek-proyek air bersih yakni subsidi selisih harga air kepada masyarakat dan dana talangan dari PT Penjaminan Infrastuktur Indonesia (PPD jika harga air yang seharusnya diterima oleh investor, belum diterima dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Namun, tegasnya, untuk mendapat-kan dukungan tersebut investor swasta harus mengikuti skema Perpres 13/ 2010, bukan secara bisnis biasa dengan PDAM atau lainnya. Bila pilihannya secara b to b (business to business) dengan PDAM langsung, itu diharapkan lebih baik, sehingga bentuk dukungan pemerintah bisa untuk KPS lain.

Direktur Eksekutif Persatuan Perusahaan Air Minum Indonesia (PerpamsO Agus Sunara mengatakan, swasta pertu diberikan porsi yang lebih besar dalam penyediaan dan pengelolaan air minum di Indonesia melalui skema KPS. Selama ini. PDAM masih khawatir bahwa KPS akan menguntungkan pihak swasta saja.

"Padahal, keterlibatan swasta dalam pengelolaan air minum dapat memberikan keuntungan kepada PDAM maupun masyarakat Salah satu keuntungannya adalah Instalasi Pengolahan Air (IPA) eksisting akan semakin tinggi nilai asetnya dan kondisi operasional aset akan tetap optimum hingga akhir masa kerja sama," kata dia. (imm)
Entitas terkait
Ringkasan Artikel Ini
Dengan menetapkan model tersebut, diharapkan pembangunan infrastruktur bisa dipercepat "Proyek Aetra bisa menjadi contoh bagi proyek air bersih lainnya dengan format KPS. Khusus untuk proyek KPS air minum, Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Kementerian PU Rachmat Karnadi mengatakan, setidaknya ada dua macam dukungan, jika investor swasta berminat dalam proyek-proyek air bersih yakni subsidi selisih harga air kepada masyarakat dan dana talangan dari PT Penjaminan Infrastuktur Indonesia (PPD jika harga air yang seharusnya diterima oleh investor, belum diterima dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Saturday, May 28, 2011

FB



My Great Web page


Tuesday, May 17, 2011

20 RW Lolos Seleksi Kampung Pintar Rabu, 11 Mei 2011 | 20:06 WIB

http://www.tempointeraktif.com/hg/makassar/2011/05/11/brk,20110511-333887,id.html

EMPO Interaktif, Makassar ---Sebanyak 20 dari 300 rukun warga (RW) lolos seleksi awal pemilihan Kampung Pintar yang diselenggarakan oleh Yayasan Unilever Indonesia bekerjasama dengan Yayasan Peduli Negeri.
Berita terkait

"Masih akan kami saring menjadi 10 kampung,"kata Saharuddin Ridwan, Direktur Yayasan Peduli Negeri saat pengumuman seleksi awal di Balai Kota Makassar, siang tadi. Menurutnya, 20 RW ini lolos setelah melalui uji berkas proposal, serta kondisi lapangan yang sudah mendukung. Sementara banyaknya RW yang tak lolos karena penyusunan data pada proposal dan kondisi lingkungannya yang masih memperoleh nilai rendah.

Tolak ukur penilaian Kampung Pintar pada seleksi awal yang dilakukan panitia, yakni aspek lingkungan, kesehatan warga, ekonomi, pendidikan serta Informasi dan teknologi sangat mempengaruhi.

Adapun 20 RW yang lolos yaitu RW 02 Kelurahan Kalukuang, RW 08 Kelurahan Bangkala, RW 04 Kelurahan Ujung Pandang Baru, RW 05 Kelurahan Pa'baeng-Baeng, RW 04 Kelurahan Balla'parang, RW 03 Kelurahan Karang Anyar, RW 02 Kelurahan Tamamaung, RW 01 Kelurahan Lakkang, RW 02 Kelurahan La'latang, RW 06 Kelurahan Sambung Jawa, RW 01 Kelurahan Untia, RW 04 Kelurahan Maricaya Selatan, RW 01 Kelurahan Mangkura, RW 04 Kelurahan Cambaya, RW 03 Kelurahan Pai, RW 03 Kelurahan Mandala, RW 01 Kelurahan Pattunuang, RW 07 Kelurahan Mamajang Dalam, RW 08 Kelurahan Bongaya, dan RW 03 Kelurahan Tamalanrea Jaya.

Kampung yang nantinya terpilih sebagai Kampung Pintar rencananya akan diumumkan pekan depan. Penanggung jawab kegiatan Kampung Pintar dari Yayasan Unilever Indonesia, Nurul Ekawati mengatakan PT Unilever menyiapkan Rp 100 juta untuk 10 RW yang akan menjadi pemenang nantinya.

Nurul mengatakan program Kampung Pintar di Makassar ini merupakan program pertama yang dilakukan oleh Yayasan Unilever Indonesia. Program ini akan menjadi proyek percontohan bagi daerah lain.

Asisten Bidang Ekonomi dan Kesejahteraan Makassar, Burhanuddin mengatakan Pemerintah Kota menantang Perusahaan lainnya untuk menggelar kegiatan yang serupa.Kegiatan semacam itu, kata dia, turut mendorong kesadaran masyarakat agar menjaga dan melestarikan kebersihan dan keindahan di masing-masing lingkungan. Dia berharap kegiatan itu dapat berlanjut tahun depan. Jika program itu dapat digelar setiap tahun, kata Burhanuddin, seluruh RW akan terpacu untuk membenahi wilayahnya masing-masing.

Sukardi Daeng Sanre, utusan RW 4 Kelurahan Maricaya Selatan Kecamatan Mamajang mengatakan timnya sudah siap mengikuti seleksi akhir pemilihan Kampung Pintar. Dia menuturkan sejumlah keberhasilan di lingkungannya yaitu mengajak warga untuk membuat produk kreatif melalui keterampilan jahit menjahit. Sehingga sampah plastik bisa termanfaatkan dan bernilai ekonomi seperti sendal, tas, dompet dan lainnya.

INDRA OY

Friday, February 18, 2011

Sejarah Sanitasi oleh bambang purwanto KMen PU

Saya mencoba menyusun sejarah Sanitasi, mohon koreksi dan masukkan bapak/ibu/sdr, kiranya model wikepedia lebih baik.
Jadi ini dari kita, oleh kita, untuk kita semua, tks
salam ampl. bambang purwanto

Seri AMPL 23:Sejarah Sanitasi di Indonesia tahun 1620-2011

1620 Pada waktu dilaporkan itu telah terjadi upaya pencemaran sungai, dimana pada saat pengepungan kota Surabaya oleh Sultan Agung dari tahun 1620-1625 serta kota-kota sekitarnya dengan membendung dan meracuni air sungai dikota yang berdampak menurunnya jumlah penduduk kota dari 50.000 jiwa lebih tinggal 500 orang yang tinggal dikota, selebihnya meninggal atau meninggalkan kota akibat kemiskinan atau kelaparan (Anthony Reid I, hal 21-22)

1699 Sebagaimana diceriterakan oleh Dampier bahwa kebiasaan mandi untuk membersihkan diri telah ada pada waktu itu dimana di sungai-sungai di Aceh selamanya penuh dengan pria dan wanita dari semua umur, orang sakit sekalipun dibawa ke sungai untuk mandi (Anthony Reid I, hal 59)

Kebiasaan BAB (buang air besar) kesungai atau dipantai didasarkan anggapan bahwa air yang mengalir bias membersihkan , ini ada benarnay dibandingkan orang Eropa atau India sezaman yang menggunakan jalan-jalan kota atau air tergenang untuk BAB karena tidak ada pilihan lain (Anthony Reid I, hal 60)

1815 Mandi disungai juga telah menjadi kebiasaan penduduk Jakarta tempo dulu, dimana ditepian kanal dipenuhi wanita telanjang dada, mereka tanpa kuatir pria iseng yang mengintipnya

1892 HCC Clockener Brouson seorang serdadu muda Belanda yang baru datang dari Amsterdam melaporkan dengan terbengong-bengong tentang cara mandi orang Indonesia yang menggunakan bak, lalu cara bagaimana menyabun dan membilas dan mengeringkan badannya, mereka mandi 3 kali yaitu pagi, jam 11 dan jam 3 sore.

1916 Di Bandung telah dibangun IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang kemudian dikembangkan melalui Proyek BUDP (Bandung Urban Develo[pment Project) I, II dan III, dengan daerah layanan seluruh Bandung sekitar 2.800 Ha atau sekitar 17% dari luas kota.; meliputi 90.000 pelanggan atau sekitar 450.000 jiwa (20% penduduk kota), 22.000 pelanggan dilayani oleh sambungan langsung , namun masih adanya industri rumahan dan rumah sakit yang membuang langsung walaupun itu termasuk tindakan illegal.

1920 Di Kota Cirebon pemerintah kolonial Belanda telah membangun IPAL pada tahun 1920 untuk melayani daerah komersial, kemudian pada tahun 1978 dilanjutkan pembangunan IPAL untuk melayani daerah Perumnas, dan pada tahun 1996 dengan bantuan Pemerintah Swiss dibangun pula IPAL yang baru , sehingga cakupan pelayanannya telah mencapai 384 Ha (9,7 dari luas kota) dan total pelanggan sekitar 19.000 pelanmggan atau 90.000 jiwa ( 32 % jumlah penduduk kotanya).

1935 Di Yogyakarta pembangunan IPAL pertama kali dilakukan oleh Belanda pada tahun 1935 dan kemudian dikembangkan lebih lanjut dengan bantuan Pemerintah Jepang sehingga saat ini pelayanannya telah mencapai 1.250 Ha (sekitar 6% luas wilayah greater Yogyakarta) dan melayani 10.000 pelanggan atau 85.000 jiwa (10% populasi).

1939 Di Balige sebagaimana diceriterakan oleh JJ van de Velde bahwa pada tahun 1935 kondisi rumah disana pada malam hari; ternak yang terdiri dari sapi, kerbau dan babi dikumpulkan dibawah rumah, pada siang hari babi dan anjing-anjing kurus tak terhitung banyaknya, menjaga agar halaman rumah bersih, mereka melahap semua sampah dan kotoran, termasuk kotoran manusia. Bahkan begitu seringnyamereka makan kotoran manusia , sehingga bagi anak-anak berbahaya sekali BAB ditempat yang tidak terjaga, sebab kalau orang tuanya lengah, pernah terjadi bahwa alat vital seorang anak lelaki kecil turut tercaplok, betapa mengerikan (JJ van de Velde, hal 76-77)

1940 Di Surakarta bagian selatan tahun 1940 Belanda telah mebangun IPAL kemudian dilanjutkan oleh Perumnas yang membangun tahun 1984 kemudian dikembangkan lagi dengan pionjaman IBRD (SSUDP, Semarang Surakarta Urban Development Project) yang dapat melayani 8.000 pelangaan sekitar 70.000 jiwa pada area 1.165 Ha (sekitar 26 % luas kota)

1977 Jakarta mulai menyusun Rencana induk Air Limbah pada tahun 1977, dan mulai membangun tahun 1983 dan pada tahun 1992 pembangunan fisik selesai, kapasitas yang dibangun sebesar 300 liter/detik dimana BOD influent sekitar 200 mg/lt dan effluent yang diharapkan adalah 50 mg/lt atau terjadi “removal” sebesar 70 % dan pada saat ini dikelolah PDPAL (Perusahaan daerah Air Limbah) yang merupakan satu-satunya PD AL di Indonesia. Jumlah pelanggan sekitar 2.300 (220.000 jiwa) sekitar 2,8 % penduduk kota.

1980 Kota Medan pada tahun 1980 mulai menyusun Rencana Induk Air Limbahnya dan lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1985 dengan pinjaman dari ADB (Asian Development Bank) melalui MUDP (Medan Urban Development Project) I dan II mulai membangun IPAL UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) kapasitas 60.000 m3/hari atau 700 lt/dt yang dilanjutkan pengaliran effluentnya ke kolam aerasi (aerobic ponds) dan terakhir ke kolam fakultatif (facultative ponds), untuk melayani sekitar 530 HA (1,9 % luas Kota) untuk 7.400 pelanggan atau 49.000 jiwa (2,25 % penduduk kota)

1982 Di Kota Tangerang pada tahun 1982 mulai dibangun IPAL type “carrousel” ini merupakan satu-satunya di Indonesia dan diuji coba tahun 1985, serta mulai dioperasikan tahun 1992. Konsultan dari Belanda DHV Cons. Eng. dan Has Koning yang bertindak sebagai perencana. IPAL Tanah Tinggi yang merupakan bantuan pemerintah Belanda tersebut mempunyai cakupan pelayanan 3.000 sambungan rumah atau ekivalen 15.000 jiwa melayani Kelurahan Sukasari dan babakan.

Selain IPAL Tanah Tinggi Kota Tangerang juga mempunyai prasarana dan sarana pengolahan air limbah domestik lainnya yang terdiri dari; kolam oksidasi sebanyak 8 unit dengan total luas sebesar 44,5 Ha terdapat di Perumnas I melayani 7.932 sambungan rumah atau ekivalen 31.728 jiwa.

Sistem Terpusat ( Offsite System) di IPAL Tanah Tinggi melayani Kelurahan Sukasari dan Babakan; seluruh limbah rumah tangga baik yang berasal dari kamar mandi, kakus maupun dapur diproses menjadi satu secara alamiah terpadu degan sistim Carrousel yang pengalirannya sebagian menggunakan perpompaan yang memerlukan biaya O/M yang tinggi sehingga menyebabkan IPAL ini tidak dioperasikan saat ini..

Sistem Setempat (Onsite system) melayani rumah tangga yang masih belum terjangkau oleh sistem terpusat, yaitu dengan menyedot lumpur tinja dari septik tank disetiap rumah yang selanjutnya diolah di IPLT Karawaci.

Dari kedua system tersebut dapat melayani 9.800 pelanggan atau 46.000 jiwa (4% penduduk kota)

1992 Pada tahun 1992 mulailah disusun Rencana Induk Air Limbah Kota Denpasar (DSDP= Denpasar Sewerage Development Project), lima tahun kemudia disusunlah detail engineering design dan pada tahun 2004 dimulailah pembangunan fisiknya. IPAL Denpasar mempunyai kapasitas 51.000 m3/hari, dengan total panjang jaringan pipa 130 km (dia 200-1.200 mm) untuk melayani sekitar 10.000 pelanggan atau 103.200 jiwa (1.145 HA luas pelayannya).

Berdasarkan Peraturan Bersama antara Gubernur Bali, Walikota Denpasar dan Bupati Badung dengan nomor 37 A tahun 2006, nomor 1 tahun 2006 dean nomor 36A tahun 2006 ditetapkanlah BLU PAL yang mengelola IPAL tersebut.

1995 Dimulailah pembangunan IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tija) disebagian besar kota-kota di Indonesia, namun keberadaan IPLT ini banyak yang tidak berfungsi dengan baik, akibat lemahnya lembaga pengelola yang ada disamping factor lainya.

2002 Di Propinsi Bali tepatnya di Kantor Gubernuran Renon, di Kecamatan Kuta, dan Sunrise School Krobokan telah dibangun Instalasi Pengolahan Limbah dengan menggunakan media tanaman alias Fythoremediasi, teknologi sederhana hasilnya cukup memuaskan namun memerlukan lahan yang cukup luas, teknonolgi ini cocok diterapkan di skala komunal.

2003 Telah disusun Pekerjaan Studi National Action Plan Bidang Air Limbah, bulan Desember 2003

Ø Telah disusun pula Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, untuk eksekutif dan legislative Pemerintah Kabupaten/Kota, Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003



Ø Telah terbit pula Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, untuk untuk Pelaksana Lapangan di Pemerintah Kabupaten/Kota, Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003



Ø Telah disusun Perumusan Rencana Tindak National Bidang Air Limbah 2005-2015. Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003



Ø Mulai dilakukan uji coba program SANIMAS (Sanitasi Berbasis Masyarakat) di propinsi Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta.

2004 > Terbit Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Ø Tim interdep (Bappenas,Depkes, Depdagri dan Dep PU) ditugaskan untuk belajar CLTS (Community Lead Total Sanitation atau STBM = Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) ke India dan Bangladesh dengan sponsor IBRD.

2005 .Terbit Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

Ø Di Kabupaten Lumajang, tepatnya di Kecamatan Guci Alit pada tahun 2005 telah memproklamirkan sebagai daerah bebas BAB dengan menerapkan CLTS alias STBM

2006 > Dilakukan replikasi program SANIMAS di 20 propinsi (69 lokasi)

Ø Dimulai program ISSDP (Indonesia Sanitation Development Proigram)

2007 > Dilaksanakan Konferensi Sanitasi Nasional I

Ø Kembali dilakukan replikasi program SANIMAS di 22 propinsi (128 lokasi)



2008 > Telah terbit Permen PU Nomor 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional PengembanganSistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum

Ø Buku Pedoman SANIMAS, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dep. PU,

Ø Telah disusun National Strategy for Community Lead Total Sanitation (CLTS), Ministry of Health

2009 Dilaksanakan Konferensi Sanitasi Nasional II

2010 Mulai disusun “Rencana Induk dan Studi Kelayakan” untuk kota-kota; Surabaya, Bogor, Cimahi, Bandar Lampung, Pekanbaru, Batam, Batam, Palembang dan Makasar atas bantuan Ausaid.



Daftar Pustaka:

1. Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid I, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta 1992

2. M.C. Ricletfs, Sejarah Indonesia Modern, Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan Kelima 1995

3. J.J. van de Velde, Surat-surat dari Sumatera 1928-1949, Penerbit Pustaka Azet, Jakarta, Agustus 1987

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

5. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

6. Permen PU Nomor 16/PRT/M/2008 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional PengembanganSistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman, Departemen Pekerjaan Umum

7. Buku Pedoman SANIMAS, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dep. PU, 2008

8. Risyana Sukarma and Richard Pollard. Indonesia Overview of Sanitation and Sewerage Experiencve and Policy Options, IBRDE, 2001

9. National Strategy for Community Lead Total Sanitation (CLTS), Ministry of Health, Jakarta, June 2008

10. Executive Summary Pekerjaan Studi National Actin Plan Bidang Air Limbah, Direktorat Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Ditjen Kotdes, Departemen Kimpraswil, Desember 2003

11. Perumusan Rencana Tindak National Bidang Air Limbah 2005-2015. Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003

12. Support on Water and Sanitation, Sector Analysis and Program Final 2009-2014, Usaid, November 2008

13. Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, untuk eksekutif dan legislative Pemerintah Kabupaten/Kota, Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003

14. Pedoman Pengelolaan Air Limbah Perkotaan, untuk Pelaksana Lapangan di Pemerintah Kabupaten/Kota, Ditjen Kotdes, Depkimpraswil, Desember 2003

15. Panduan Pengawasan Sistem Pengelolaan Air Limbah, Inspektorat Jenderal, Departemen PU

16. Kerangka Acuan Kerja Konferensi Sanitasi Nasional II

17. Newsletter AMPL, edisi Juli 2008

18. Newsletter AMPL, edisi Agustus 2008